• Jln. RI. Dt. Sinaro Panjang No.1-6 Komplek Muhammadiyah Kauman Kota Padang Panjang.

  • Telp / Fax(0752) 82612
    082174437882

  • Email fkipumsb@yahoo.com

Tanah Datar, Ranah Penuh Daya Tawar

Oleh: Efri Yoni Baikoeni 

(Dosen FKIP UM Sumatera Barat)

FKIP UM Sumatera Barat; Rencana perjalanan kali ini terasa lain dari biasanya. Kami akan berkunjung ke Kabupaten Tanah Datar, tepatnya Lintau Buo dalam rangka promosi FKIP UM Sumatera Barat, sekaligus penjaringan mahasiswa baru TA 2025-2026. 

Bagi saya perjalanan ini tidak sekedar perjalanan dinas semata, tapi punya nilai tambah tersendiri. Nama Lintau Buo mengingatkan saya pada sejarah keluarga kami. Ayah saya memiliki ibu angkat bernama Andeh Fatimah yang berasal dari Tabek Akiang, Lintau. Panjang sejarahnya kenapa ayah kami punya keluarga angkat dari Lintau Buo. Jejaknya bermula tahun 1958, ketika terjadinya pergolakan daerah, dikenal dalam sejarah sebagai PRRI. Ini cara orang Minang mengoreksi Pemerintah yang tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat daerah dan menolak keberadaan PKI dalam pemerintahan. 

Pemberontakan daerah itu dipadamkan dengan mengirim tentara APRI untuk menggempur pertahanan PRRI. Tentu saja, masyarakat harus menyelamatkan diri dengan pergi mengungsi ke daerah pinggiran. 

Pada saat itulah, ayah saya yang merupakan pemberontak PRRI bersenjata, pergi mengungsi dan memilih bertahan di Tabek Akiang, karena ditampung oleh keluarga Andeh Fatimah. 

Ibu saya menyusul ke sana, sehingga lahirlah abang saya tahun 1961. Waktu itu tentu saya belum ada. Setelah stabilitas keamanan kondusif tahun 1962, mereka kembali ke Tanjung Alam, Nagari Biaro Gadang, Kec. Ampek Angkek, Agam. Genaplah empat tahun mereka menjadi orang Lintau.

Perjalanan Mengasyikkan

Jadi perjalanan saya ke Lintau Buo, tidak sebatas perjalanan dinas, namun juga napak tilas. Kami berangkat dari Kauman, Padang Panjang pukul 08.00 pagi. Di dalam mobil itu, ada Pak Dekan Dr. Gusmaizal Syandri, saya, Ibrahim Garba seorang mahasiswa asing UM Sumatera Barat dari Nigeria dan Muhammad Havis mahasiswa berprestasi “Uda Padang Panjang” FKIP UM Sumatera Barat.

Meski perjalanan dari Padang Panjang menuju Lintau Buo memakan waktu 2 jam, namun jauh dari kata membosankan. 

Pemandangan alam sepanjang trip sangatlah indah. Ada bukit, gunung, lembah, hamparan sawah bertingkat-tingkat, pohon berjejal di tepi jalan nan berkelok-kelok menjadi pencuci mata yang ampuh. 

Terkadang kami melihat gumpalan awan menggantung di kaki bukit, berarak di tepi langit, serasa berada di negeri Kahyangan.

Dapat dibayangkan, salah satu nagari yang kami lalui itu bernama Pariangan. Inilah destinasi wisata yang dinobatkan sebagai kampung terindah di dunia. Masyaallah. 

Disinilah nagari pertama yang didirikan orang Minang, sebelum menyebar ke daerah lainnya yang dikenal dengan Luhak.

Saat melewati Nagari Limo Kaum, kami menyaksikan beberapa peninggalan bersejarah yang terletak di pinggir jalan seperti Prasasti Kuburajo. Batu tulis ini ditemukan tahun 1877 oleh NJ Krom peneliti Belanda. 

Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sangskerta yang menjelaskan tentang Raja Adityawarman. Raja yang diutus dari Majapahit ini dikenal sebagai raja pertama yang memerintah di Minangkabau tahun 1347-1375.

Menjelang sampai di kota Batu Sangkar, kami melewati objek sejarah lainnya yaitu Batu Batikam. Seperti namanya Batu Batikam itu artinya batu yang tertusuk keris. 

Batu ini dianggap penting karena menjadi simbol demokrasi yaitu pertentangan pendapat antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan. Dari perbedaan pandangan itu muncul pula dua sistem adat di Minangkabau yang dikenal dengan Adat Bodi Chaniago dan Adat Koto Piliang. 

Promosi Kue Talam Kayu Bulek

Sekitar pukul 10.00, sampailah kami di SMAN 1 Lintau Buo Utara yang disambut ramah oleh Ibu Rahmiwati, SPd., salah seorang guru Bahasa Inggris. Dari tempat parkir, kami diarahkan menuju ruang kepala sekolah, yang terletak dekat gerbang masuk.

Sebelum menapak ruangan, saya tertegun sejenak membaca label yang tergantung di daun pintu. Kepala sekolahnya bernama Dr. Irda Suryani MM. Pertama kali saya menemui kepada SMA yang bergelar Doktor atau berpendidikan S-3. Di ruang yang tertata rapi dan wangi itu, kami diterima ibu kepsek yang kharismatik.

Seolah tanpa komando karena sudah disiapkan sebelumnya, Buk Rahmiwati yang akrab disapa Buk Emi menyuguhkan kuliner khas daerah. Namanya Kue Talam dari Kayu Bulek. 

Buk Kepsek mendahului kami berpromosi. Kali ini tentunya bukan promosi siswa maupun sekolah namun kuliner khas daerah. Katanya, Kue Talam ini berbeda dengan Kue Talam lainnya karena dioleh dengan gula aren yang banyak dihasilkan di sini.

Saya pun kaget, karena saya sesungguhnya sangat akrab dengan nama “Kue Talam”, namun belum pernah mencoba rasanya. 

Dulu ketika masih tinggal di Brunei dan bekerja sebagai Staf KBRI Bandar Seri Begawan, saya sering menyebut Kue Talam ketika berpantun memulai acara. Saya masih ingat baitnya, “Bukan talam sembarang talam. Talam dari Tanah Jawa. Bukan salam sembarang salam. Salam sejahtera untuk kita semua”.

Yang lebih mengagetkan, ternyata Kue Talam tidak seperti kue kering umumnya. Kue Talam bentuknya seperti lontong, meski sedikit lunak karena teksturnya lembut. 

Biasanya dibungkus dengan daun pisang. Rasanya manis dan legit. Warnanya putih diselingi pink atau hijau penambah daya tarik. 

Bahannya terbuat dari tepung beras atau ubi bahkan tepung sagu. Wangi daun pandan dan santan terasa kental, menambah selera nikmat. Kalau bulan puasa ini menjadi menu wajib berbuka. 

Promosi FKIP UM Sumatera Barat

Setelah Buk Kepsek berpromosi, gantian Dekan kami memulai budi wicara. Dalam kesempatan itu, dikemukakan berbagai bentuk kerjasama yang dapat ditindaklanjuti antara lain peluang mengikuti program mahasiswa “undangan” bagi siswa terbaik dari sekolah tersebut. 

Selain itu, FKIP UM Sumatera Barat menawarkan berbagai kursus dan pelatihan dalam upaya meningkatkan mutu dan keterampilan guru dan siswa. FKIP UM Sumatera Barat memiliki tiga Prodi untuk program Sarjana (S-1) yaitu Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa Indonesia dan Pendidikan Matematika. Selain itu, juga tersedia Program Pendidikan Guru (PPG) untuk mencetak Guru yang professional, mandiri dan berkepribadian Islami. Mahasiswa baru nantinya akan mengikuti pembelajaran di Kampus UM Sumatera Barat di Bukittinggi.

Melalui kerjasama tersebut, Dekan FKIP UM Sumatera Barat berharap dapat meningkatkan jumlah lulusan SMAN 1 Lintau Buo Utara yang kuliah di UM Sumatera Barat, baik melalui jalur mandiri maupun beasiswa. Pada tahun 2024, UM Sumatera Barat telah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp. 4,1 Milyar untuk disalurkan dalam bentuk beasiswa kepada mahasiswa baru. 

Selain itu, berbagai kemudahan juga diberikan oleh universitas tertua di Sumbar tersebut seperti uang kuliah yang bisa dicicil, dengan jalur pendaftaran seperti Jalur Seleksi mandiri, jalur beasiswa (non-test) dan Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL). Selain itu, FKIP UM Sumatera Barat juga membuka pendaftaran untuk mahasiswa pindahan. 

Perkenalan dengan Kepsek SMAN 1 Lintau Buo Utara ini terasa sangat berkesan karena banyak pandangan baru yang disampaikan dan peluang kerjasama yang dapat diterokai demi mewujudkan kualitas Pendidikan yang lebih baik. 

Diantaranya adalah upaya meningkatkan kegiatan literasi di sekolah, melalui pelatihan atau Workshop penulisan buku ajar ataupun buku biografi bagi guru dan siswa.  Tidak hanya itu, Doktor di bidang Lingkungan tersebut juga banyak mengutarakan keinginannya meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris di lingkungan Widyatamandala. 

Mengenal Tuanku Lintau

Sekitar pukul 12.00, “Mukasuik sampai. Diama pacah”, bertemuan indah berakhir sudah. Kami melanjutkan perjalanan dengan misi yang sama ke SMAN 2 Lintau Buo yang dipimpin oleh Muhammad Hijaz,S.Pd., MMPd.yang  berlokasi di Jalan Raya Setangkai, Balai Tengah, Km. 2, Tigo Jangko, Kec. Lintau Buo. 

Sebelum meninggalkan ibu kota kecamatan ini, kami sempat singgah di Masjid Tuanku Lintau, untuk menunaikan shalat Jama’ dan Qashar. Bagi saya, nama Tuanku Lintau bukan sembarang nama karena nama Tuanku Lintau adalah sebuah nama besar. 

Tuanku Lintau dikenal juga dengan Tuanku Pasaman, dilahirkan di Tepi Selo, Lintau Buo Utara tahun 1750. Dikenal dengan Tuanku Pasaman karena beliau pernah hijrah ke daerah itu dan memiliki surau pula di sana. 

Beliau yang meninggal di Pelalawan, Riau tahun 1832 tersebut dikenal sebagai Panglima dalam Perang Paderi. Sayang, kami tidak sempat singgah di rumah putera dari Datuk Sinaro yang masih terjaga dengan baik itu. Kebesaran nama Tuanku Lintau juga diabadikan sebagai nama Pondok Pesantren yang tidak jauh dari masjid itu.  

Puncak Pato, Sumpah Sati Marapalam

Dalam perjalanan kembali ke Padang Panjang, tentu saja kami melewati Bukit Marapalam. Bukit ini sangat strategis karena terletak di perbatasan antara Lintau Buo dengan Nagari Sungayang. Puncak bukit yang berjarak 22 km dari Lintau Buo ini dikenal dengan “Puncak Pato” dan menjadi objek wasata sejarah yang sangat penting. 

Dulunya pada masa penjajahan Belanda, kerajaan kolonial itu mengadu domba masyarakat Minangkabau dengan memunculkan pertentangan dan perbedaan pendapat, yang melatarbelakangi munculnya Perang Paderi. 

Setelah Kaum Adat menyadari kekeliruannya karena meminta bantuan Belanda, maka pemuka Kaum Adat dan Kaum Agama bersepakat berdamai dengan mencari titik temu ideologis dengan menjadikan Islam sebagai dasar bermasyarakat dan bernagari. 

Kesepakatan ini dikenal dengan “Sumpah Sati Marapalam” yang kemudian menghasilkan adagium “Adaik Basandi Syarak. Syarak Basandi Kitabullah”. Sumpah ini menetapkan bahwa adat harus berlandaskan syariat, sementara syariat itu sendiri bersumber dari Al-Quran. Dengan demikian, sumpah ini melahirkan suatu ideologi Islam sebagai dasar budaya masyarakat Minangkabau.

Untuk menaklukkan Puncak Pato, kami harus mendaki lereng bukit sejauh 300 meter dengan tingkat keterjalan hampir 45 derajat. 

Tidak lupa beli tiket seharga Rp. 7.000/orang. Butuh tenaga ekstra tentunya apalagi kawasan itu sedang diguyur hujan. 

Meski demikian, apabila sampai di puncak, kepenatan mendaki terbayarkan dengan keindahan alam yang dinikmati. Pemandangan alamnya sangat eksotis apalagi menyaksikan perpaduan keindahan alam dengan nilai-nilai sejarah.

Sejauh mata memandang, terlihat keindahan Gunung Marapi yang sesekali mengeluarkan asap dari kepundan. Pada saat langit cerah, terlihat Danau Singkarak nan berjarak 60 km dari puncak. 

Belum lagi, hamparan sawah yang hijau dan perumahan penduduk yang berjejal rapi. Tiupan angin sepoi-sepoi basah berhembus di antara pohon pinus. 

Terlihat juga beberapa anak-anak muda yang duduk di beberapa bangku. Pada akhir pekan dan liburan sekolah, destinasi wisata ini lebih ramai dengan kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.

Nikmatnya “Nita”

Setelah puas menikmati udara puncak, kami turun dan melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Sungayang. Tepat di Nagari Andaleh Baruah Bukik, Pak Dekan Dr. Gusmaizal Syandri mengajak kami berhenti, menikmati minuman teh telur. 

Tapi ini rasanya pasti beda, karena minuman ini terkenal sebagai kuliner khas Nagari Andaleh. Minuman maknyus ini menggunakan telor itik atau ayam kampung dengan pemanis gula aren. Terkenallah minuman ini dengan “Niro Talua” atau disingkat dengan “Nita”.

Nagari Andaleh Baruah Bukik di Kecamatan Sungayang dikenal sebagai penghasil “air niro” atau air yang diambil dari Pohon Aren atau Pohon Enau. Pasalnya, nagari ini memang dikenal banyak memiliki Pohon Aren. 

Saking banyaknya, warga setempat berinisiatif menjadikan pohon ini sebagai ladang mata pencarian. Ada yang membuat Gula Enau, Saka, Gula Semut, dan lainnya. Ada juga yang memanfaatkan buah 

Aren menjadi kolang-kaling atau dikenal juga dengan buah Atap. Biasanya kolang-kaling ini diproduksi saat bulan Ramadhan tiba.

Di kedai papan itu, kami disambut Pak Zulkifli, sang pemilik warung Nita. Di sana telah duduk-duduk pula beberapa warga setempat yang berehat usai menyetor air Nira. Sepertinya kedai ini juga tempat menadah air Nira atau Enau yang habis dipanen. 

Tentunya kami pesan Nita dengan antusias. Dalam sekejap, Nita siap disajikan. Kami tambah bersemangat. Cara penyajiannya menarik karena tidak pakai gelas, tapi menggunakan tabung bambu. 

Eh, Nita ini tidak pula diseruput dengan air panas, sebagai mana teh telur di tempat lain. Rasa gula arennya cukup kental di lidah. Rasa pada tegukan pertama melalui pipet itu mengingatkan saya dengan cendol tape. 

Tegukan kedua dan seterusnya bertambah lezat karena dimingi-imingi khasiat yang didapat. Setidaknya ada delapan manfaat yang diperoleh. 

Kata Pak Zulkifli berpromosi bahwa segelas Nita dapat menambah stamina, menghindari stress, menambah kebahagiaan, memulihkan konsentrasi, menyehatkan jantung dan penyakit kulit, dan sebagainya.

Prospek dan Cara Proses Air Nira

Sambil menikmati Nita ditemani goreng tahu dengan sambal khas gula aren, saya melihat kedatangan seorang warga yang memikul dua tabung bambu berisi air nira. Saya tertarik ngobrol dengan Pak Zulkifli menanyakan prospek tanaman Aren dan metode mendapatkan air Nira dari Pohon Aren. Katanya, prospek produksi Aren di nagari itu sangat baik karena diekspor ke Thailand dan negara jiran seperti Malaysia dan SIngapura.

Metode atau cara mendapatkan air Nira melalui beberapa proses yang tidak mudah. Air Enau atau Nira diambil dari tangkai daun dekat tangkai buah. 

Biasanya pada sore hari, ujung tangkai bunga Enau itu disayat dengan pisau tajam, seakan-akan memperbaharui lukanya supaya airnya keluar. 

Pada saat air menetes, ditampung dengan tabung bambu yang tidak terlalu besar sepanjang satu meter. Tabung diikatkan diujung tangkai bunga Enau, lalu dibalut dengan ijuk agar tidak masuk serangga.

Pada sore hari, petani Nira mulai menampung air Nira dan besok paginya diambil sekaligus diganti dengan tabung yang baru. Air Nira yang dibawa pulang disaring dulu untuk dibersihkan kalau-kalau ada serangga yang masuk. Setelah itu baru diminum atau diolah menjadi gula.

Volume air Nira pada setiap Pohon Aren tidak sama. Bahkan ada Pohon Aren yang tidak menghasilkan air. Ada yang menghasilkan 1 liter Nira bahkan ada juga yang menghasilkan 4 liter per malam. 

Tabung Nira yang sudah dipakai harus dibersihkan baik-baik. Kemudian dikeringkan dengan cara memasukkan uap dari api melalui cerobong dari seng ke dalam tabung itu. Kalau tabung tidak kering dan bersih, air Nira akan berubah rasanya menjadi asam.

Setelah puas menikmati Nita, tanpa sadar ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 sore. Kamipun siap-siap meninggalkan tempat itu. Pak Dekan Dr. Gusmaizal Syandri berbaik hati mentraktir kami. Satu porsi Nita dibanderol seharga Rp. 15.000, ditambah kudapan tahu dan kerupuk “Jariang”. 

Saya juga membeli gula aren (Gula Semut) seharga Rp30.000 dengan berat setengah kilo. Begitu juga buah Atap atau kolang kaling seharga Rp.15.000/kilo yang ampuh untuk mengobati Asam Urat. 

Kami tinggalkan Nagari Andaleh Baruh Bukit menuju Nagari Sungayang. Tentunya kami tinggalkan banyak kenangan. Keindahan Ranah Tanah Datar dengan seribu daya tawar. 

Keindahan alamnya menjadi sumber inspirasi yang kaya dan tak pernah habis. Dengan keindahan dan keajaibannya, alam Tanah Datar mampu membangkitkan berbagai emosi dan imajinasi mendalam. 

Kuliner Tanah Datar adalah cerminan keragaman hidangan yang memukau penuh cita rasa. Tidak hanya itu, Tanah Datar merekam banyak memori kolektif masyarakat Minangkabau yang patut dilestarikan. 

Dengan latar belakang sejarah dan budaya yang kaya, Tanah Datar menjadi salah satu tempat yang penuh dengan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal, serta memberikan wawasan tentang bagaimana keindahan alam dan warisan sejarah dapat membentuk identitas suatu komunitas.

 

Iinformasi pendaftaran mahasiswa baru FKIP UM Sumatera Barat bisa dilihat di : pmb.umsb.ac.id

SHARE KE: