• Jln. RI. Dt. Sinaro Panjang No.1-6 Komplek Muhammadiyah Kauman Kota Padang Panjang.

  • Telp / Fax(0752) 82612
    082174437882

  • Email fkipumsb@yahoo.com

PROGRAM “SUARA BUDAYA NUSANTARA” KERJASAMA RRI BUKITTINGGI DAN RRI JAKARTA HADIRKAN TOPIK “BUNG HATTA PROKLAMATOR ASAL BUKITTINGGI”

PROGRAM “SUARA BUDAYA NUSANTARA” KERJASAMA RRI BUKITTINGGI DAN RRI JAKARTA HADIRKAN TOPIK “BUNG HATTA PROKLAMATOR ASAL BUKITTINGGI”


Wawancara untuk program “Suara Budaya Nusantara” kerjasama antara RRI Bukittinggi dan RRI Jakarta diselenggarakan tanggal 21 Agustus 2025 dengan topik “Bung Hatta Proklamator Asal Bukittinggi”. Program tayangan langsung pukul 13.00 sampai 14.00 WIB tersebut bersamaan dengan perayaan HUT ke-80 Proklamasi Kemerdekaan RI. Program menghadirkan narasumber Efri Yoni Baikoeni, MA, seorang Dosen UM Sumatera Barat, sekaligus penulis dan Sejarawan.

Dengan dipandu oleh host Ernawita dari RRI Bukittinggi dan Nova Calysta dari RRI Jakarta, narasumber menjawab berbagai pertanyaan yang disampaikan host maupun pendengar radio dari berbagai pelosok Nusantara.

Di awal presentasinya, narasumber menjelaskan sosok Bung Hatta sebagai seorang maha putera asal Bukittinggi. Pemilik nama asli Mohammad Athar itu dilahirkan tanggal 12 Agustus 1902 di Aur Tajungkang. Ayahnya bernama Mohammad Djamil, seorang putera Syeikh Abdurrahman Batu Hampar, nagari sekitar 10 km dari Kota Payakumbuh. Ibunya bernama Siti Saleha, yang berasal dari Bukittinggi dari keluarga saudagar. Bung Hatta dikenal sebagai anak yatim karena ayahnya meninggal saat dia berusia 8 bulan. Karena itu Bung Hatta tidak pernah kenal dengan wajah ayahnya, namun ibunya mengatakan kalau wajahnya sangat mirip dengan ayahnya.

Bung Hatta memiliki irisan yang cukup panjang dengan Kota Bukittinggi. Dalam buku autobiografinya “Mohammad Hatta Memoir” yang diterbitkan Tintamas, Jakarta tahun 1982, Bung Hatta bercerita cukup panjang dan detail tentang tempat kelahirannya. Di kota kecil nan sejuk inilah, dia mengaji Al Quran kepada Syeikh Mohammad Djamil Djambek di suraunya di Tengah Sawah. Pendidikan umum tingkat dasar dilaluinya di Sekolah Rendah, dilanjutkan ke Sekolah Rakyat di Bukittinggi. Pada pendidikan tingkat menengah, Bung Hatta hijrah ke Padang untuk masuk sekolah MULO. Di Kota itu tinggal pula mamaknya Ayub Rais dan juga ayah tirinya, Haji Ning. Usai menamatkan MULO, Bung Hatta berhasil lulus dan melanjutkan sekolah di Prince Hendrik School di Jakarta (dulunya bernama Betawi).

Menjawab pertanyaan mengenai asal mula munculnya kesadaran nasionalisme Bung Hatta, nara sumber menjawab bahwa Bung Hatta sejak kecil sudah memiliki kesadaran nasionalisme. Pada tahun 1908 saat ia berusia 6 tahun terjadi Perang Kamang. Akibatnya, setiap warga yang akan memasuki Kota Bukittinggi untuk kegiatan jual beli, harus melalui pemeriksaan yang sangat ketat dan kasar oleh serdadu Marsose Belanda. Karena rumahnya berlokasi dekat dengan pos penjagaan keamanan, Bung Hatta melihat dengan mata kepala sendiri adanya ketidakadilan yang dialami oleh bangsanya. Sejak saat itulah, rasa nasionalisme tertanam dalam dirinya dan ia bertekat berjuang membebaskan bangsanya dari penindasan kolonialisme.

Ketika menjawab pertanyaan salah seorang pendengar dari Lampung mengenai masa periode jabatan Wakil Presiden yang dijabatnya, narasumber menyatakan bahwa tepat sehari setelah proklamasi kemerdekan tanggal 18 Agustus 1945, terpilihlah Bung Karno sebagai presiden dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Jabatan itu diemban Bung Hatta sampai mengundurkan diri tahun 1956. Pengunduran diri Bung Hatta tidak terlepas dari perbedaan pandangan dengan Bung Karno dalam menjalankan pemerintahan.

Ketika menjawab pertanyaan seperti apa pengorbanan Bung Hatta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, narasumber menyatakan bahwa pengorbanan Bung Hatta sangat luar biasa. Beliau mencurahkan seluruh pikiran dan waktunya untuk perjuangan kemerdekaan. Bung Hatta pernah bernazar tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Nazar itu ditepatinya karena Bung Hatta menikah dengan Ibu Rahmi Rachim tahun 1948, setelah kemerdekaan Indonesia tercapai. Saat itu usianya sudah mencapai 46 tahun.

Selanjutnya, host menanyakan nilai-nilai moral apa yang dapat diwarisi generasi muda dari perjalanan hidup Bung Hatta, narasumber menyebutkan setidaknya ada dua nilai moral yang penting. Pertama adalah nilai kesederhanaan dan kedua adalah nilai tidak haus kekuasaan. Kesederhanaan Bung Hatta dapat dilihat dari kehidupannya yang jauh dari kemewahan dan glomour. Meski seorang pensiunan pejabat tinggi, tetapi Bung Hatta pernah tidak sanggup membayar tagihan listrik rumahnya. Ketika beliau wafat, pihak keluarga pernah menemukan secarik kertas guntingan koran iklan sepatu “Bally”. Ternyata, semasa hidupnya Bung Hatta pernah memendam keinginan memiliki sepatu buatan Swiss itu, namun karena tidak memiliki uang yang cukup, sampai meninggal dunia, harapannya tidak sempat terwujud. Sifat tidak haus kekuasaan tercermin dari keputusannya mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Keputusannya berada di luar pemerintahan bertujuan memberi kesempatan yang “fair” bagi Bung Karno mewujudkan cita-citanya. Di luar pemerintahan, Bung Hatta banyak memberi koreksian dan kritik atas kebijakan Bung Karno. Melalui bukunya berjudul “Demokrasi Kita”, Bung Hatta menyorot kebijakan-kebijakan Bung Karno melalui politik Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunis) yang dinilai telah melenceng dari semangat demokrasi Pancasila.

Terakhir, narasumber menyampaikan harapan kepada generasi muda untuk meneladani pribadi Bung Hatta. Proklamator Bung Hatta menjadi contoh teladan bagi generasi muda. Beliau adalah orang yang mempunyai literasi yang luar biasa. Beliau dikenal sebagai seorang kutu buku dan menghabiskan banyak waktunya tidak hanya untuk membaca tetapi juga untuk menulis. Kita lihat tulisan Bung Hatta itu banyak tersebar di berbagai media. Dengan tulisannya itu Bung Hatta berhasil menyampaikan pikiran-pikirannya sehingga dipahami oleh masyarakat bahkan dapat menggerakkkan masyarakat. Kita generasi muda harus banyak membaca, menulis dan tentu hasilnya akan menentukan masa depan kita. Karena itu, kepada generasi muda marilah kita tingkatkan literasi kita. Jadikan buku sebagai sumber inspirasi. Habiskan waktu dengan membaca buku karena buku itu adalah jendela dunia.


*******

SHARE KE: